Sabtu, 27 November 2010

Berbahagialah Orang Yang Dianiaya Oleh Sebab Kebenaran





Matius 5:10 – Pesan ke-delapan dari 10 tentang ‘Ucapan Bahagia’
Disampaikan oleh Pendeta Eric Chang
Hari ini kita akan membahas dari Matius 5:10-12 yang berbunyi, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”
Berhubungan dengan ini, saya ingin juga membacakan perikop yang sejajar di Lukas 6 yang menyampaikan kebenaran yang sama namun dengan kata-kata yang sedikit berbeda. Lukas 6:22-23 berbunyi: “Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di surga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.” Dan ayat 26, “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.” Di perikop yang paralel ini, kita melihat bahwa nabi-nabi palsu dipuji semua orang; namun nabi-nabi yang benar difitnah dan dianggap jahat. Ini memang merupakan satu situasi yang mengherankan yang menunjukkan bahwa manusia zaman ini tidak tahu bagaimana membedakan seorang nabi benar dari seorang nabi palsu. Nabi-nabi yang benar difitnah, dicela, dicaci-maki dan ditolak namun nabi-nabi palsu diterima dengan baik dan dipuji oleh semua orang. Yesus memperingatkan murid-murid-Nya, “Berjaga-jagalah jika kamu dipuji semua orang” karena itulah yang terjadi kepada nabi-nabi palsu. Nabi-nabi palsu diberikan penghormatan yang tinggi oleh umat Allah di zaman mereka, sedangkan nabi-nabi benar seperti Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel ditolak dan dianggap jahat.
Apakah yang ingin diajarkan oleh Yesus kepada kita? Masih ingatkah Anda ucapan bahagia yang pertama di ayat 3 yang mengatakan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga”? Saya ingin Anda memperhatikan paralelnya dengan “kerajaan Allah” di ayat 10. Di situ dikatakan, “karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” dan kali ini ia menunjuk kepada orang-orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran. Ini menunjukkan bahwa kita telah berputar kembali kepada mereka yang disebut akan menjadi empunya Kerajaan Surga. Lain kali kita akan mempelajari sesuatu tentang susunan dan urutan kepada Ucapan Bahagia, dan apakah arti rohani yang terkandung dalam susunan tersebut.
Berbahagialah Orang-orang Yang Menderita
Hari ini kita mempelajari arti kata-kata berikut , “Berbahagialah orang yang dianiaya.” Di sini ucapan berkat ditujukan kepada orang yang menderita. Dengan kata lain, “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran.” Nah, di dunia ini orang yang menderita sama sekali tidak akan dianggap bahagia! Kita menganggap orang yang menderita itu harus dikasihani. Setelah saya keluar dari Negeri Cina (dimana saya pernah menghabiskan tujuh tahun di bawah pemerintahan Komunis), saya seringkali mendengar orang berkata, “Betapa kasihannya orang-orang yang berada di Negeri Cina! Betapa besarnya penderitaan mereka! Betapa menyedihkan bahwa mereka harus melewati semua penderitaan itu.” Saya memandang mereka dan saya berkata, “Merekalah yang bahagia. Kamulah yang harus dikasihani.” Ketika saya mengatakan itu, di benak saya adalah perkataan-perkataan Yesus ini, “Berbahagialah – diberkatilah – orang yang menderita oleh sebab kebenaran.” Merekalah yang beruntung. Merekalah yang diberkati. “Kamu orang-orang Kristen Barat,” saya mengatakan kepada mereka, “kamulah yang harus dikasihani. Kamulah yang benar-benar harus dikasihani.” Apakah berbahagia atau menyedihkan, tergantung dari sisi apa Anda memandang. Jika Anda memandang dari sudut rohani, orang Kristen di Negeri Cina harus dicemburui karena berkat rohani yang dilimpahkan ke atas mereka. Namun tentu saja gereja masa kini sudah terbiasa memandang seperti dunia memandang.
Apa lagi yang dapat dilakukan oleh sebuah gereja duniawi kecuali menilai segala sesuatu dari sudut pandang dunia? Dan memandang dari sudut pandangan dunia, tentu saja, kita akan merasa, “Betapa menyedihkan keadaan mereka! Lihat betapa besarnya penderitaan mereka! Malang sekali! Betapa buruknya nasib mereka!” Namun Yesus sedang mengajar kita untuk berpikir secara rohani. Jika Anda memandang dari sudut pandang rohani, Anda akan merasa, “Betapa bahagianya untuk menderita!” Sebentar lagi kita akan melihat mengapa penderitaan adalah suatu berkat dan merupakan suatu penghargaan yang besar! Betapa bahagianya saya ketika pada tahun 1955 saya berada di Peking dan saya menghadiri gerejanya Wang Ming Tao. Saya masih mengingat dengan jelas dia mengatakan, “Aku tidak layak untuk menderita demi nama Yesus. Namun jika Allah memberikan hak istimewa itu padaku, aku akan menganggapnya sebagai suatu berkat yang besar.” “Berbahagialah orang yang menderita” – Wang Ming Tao memahami pelajaran ini dengan baik. Penderitaan merupakan suatu hak istimewa dan Wang Ming Tau tidak menganggap dirinya layak untuk menerima penghargaan yang begitu besar. Di sinilah letaknya perbedaan antara orang yang berpikir secara rohani dan orang yang berpikir menurut daging. Jika Anda berpikir menurut daging, Anda mengasihani orang yang menderita. Tetapi jika Anda berpikir secara rohani, seperti halnya dengan Wang Ming Tao, Anda akan menganggapnya sebagai suatu hak istimewa – suatu hak istimewa yang tinggi – untuk menderita demi nama Yesus, menderita oleh sebab kebenaran.
Nilai Penderitaan dalam Ajaran Para Rabi
Mari sekarang kita melihat beberapa alasan mengapa penderitaan itu begitu bernilai. Bahkan kitab orang Yahudi yang disebut Talmud (Talmud berarti pelajaran), yaitu buku pelajaran orang Yahudi, memperhatikan dengan jelas bahwa di dalam Perjanjian Lama, orang yang diberkati adalah yang menderita, atau orang yang menderita adalah yang diberkati – yang mana saja karena keduanya tak dapat dipisahkan. Talmud itu ditulis oleh para rabi Yahudi, dan bukan orang Kristen. Kadang-kadang saya merasa malu karena orang-orang Kristen tidak mempunyai wawasan dan kedalaman yang sebanding dengan beberapa rabi Yahudi. Rabi-rabi Yahudi ini, ketika mempelajari Firman Allah, mencatatkan dengan baik pengamatan ini: Allah memilih Nuh karena Nuh dianiaya, dan ditolak pada zamannya. Ia dikucilkan. Ia menonjol sebagai orang benar di tengah-tengah satu angkatan yang jahat.
Atau pikirkan Habel. Habel dianiaya oleh saudaranya sendiri; bahkan dibunuh oleh saudaranya. Namun Allah memilih Habel dan bukan Kain. Atau ambil Isyak, kata rabi-rabi Yahudi ini. Isyak dianiaya oleh orang Filistin (Kejadian 26:27). Dan Allah memilih Isyak, yang dianiaya. Lihatlah Yakub. Yakob sentiasa dianiaya oleh Esau. Dan Allah memilih Yakub dan bukan Esau. “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau” – penganiaya itu – Aku benci (Roma 9:13). Kemudian lihat siapa lagi yang dipilih Allah. Allah pilih Yusuf – Yusuf yang dianiaya oleh saudara-saudaranya. Allah memilih Daud, dan Daud dianiaya oleh Saul. Begitulah ceritanya di PL. Jadi para rabi telah memperhatikan bahwa Allah memilih orang-orang yang dianiaya. Dengan kata lain, orang-orang yang dianiayalah yang akan dipilih oleh Allah. Atau, mereka yang dipilih Allah dianiaya. Keduanya bersangkut paut.
Para rabi juga memperhatikan bahwa semua hewan persembahan dalam PL adalah hewan yang bersifat damai. Apakah mereka? Mereka terdiri dari domba, anak lembu, sapi jantan – semua ini adalah hewan yang damai. Mereka tidak agresif dan jinak. Merekalah hewan yang sentiasa diserang oleh hewan lain seperti singa, macan tutul dan serigala. Pernahkah Anda melihat seekor singa dipersembahkan di bait Allah? Atau serigala? Atau macan tutul? Tentu tidak. Binatang-binatang ini tidak dapat diterima sebagai persembahan. Mengapa? Karena mereka adalah hewan yang membawa maut; mereka bukan binatang yang damai. Dan hewan yang membawa damai adalah hewan kurban persembahan. Jadi Anda melihat hubungannya dengan ayat yang sebelumnya, “Berbahagialah orang yang membawa damai, mereka akan disebut anak Allah.” Ini menyambung dengan “Berbahagialah orang yang dianiaya” karena orang yang membawa damailah yang akan dianiaya. Orang yang membawa damailah yang paling serupa dengan Kristus. Mengapa Yesus memikul salib-Nya dan menderita? Kolose 1:20 memberitahu kita: untuk ‘mengadakan pendamaian’ bagi kita ‘oleh darah salib-Nya’. Mengapa kita dipanggil untuk memikul salib dan mengikut Dia? Untuk membawa damai seperti Dia. Membawa damai dengan cara memikul salib kita, bukan karena salib kita dapat membawa damai atau menebus dosa dengan cara yang sama seperti salib Kristus, namun kita dipanggil untuk mengikut jejak langkah-Nya. Kita juga telah dipercayakan dengan satu pelayanan, yang disebut Paulus sebagai pelayanan pendamaian. Kita telah dipercayakan dengan pelayanan pendamaian, yaitu menjadi orang-orang yang membawa damai, sebagaimana kita baca di 2 Korintus 5:18-19 [dan pelayanan ini membawakan penderitaan].
Orang yang Saleh akan Dianiaya
Kerajaan Allah adalah satu tempat yang nyaman, satu tempat di mana Allah memerintah dalam kebenaran. Kerajaan Allah adalah tempat di mana Anda beroleh belas kasihan dan keselamatan. Ia adalah tempat di mana Anda dapat melihat Allah. Satu tempat yang indah, satu tempat yang spiritual – satu tempat di mana kemuliaan Allah dinyatakan dalam keselamatan. Setiap manusia akan menyaksikannya bersama. Pertanyaannya ialah: bagaimana kita dapat masuk ke dalam kerajaan Allah? Bagaimana kita dapat mewarisi kerajaan ini? Di sini kita mendapatkan jawabannya, tetapi mungkin bukan jawaban yang kita sukai, melainkan jawaban yang diberikan oleh Yesus, “Berbahagialah mereka yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Bagaimana kita dapat mewarisi kerajaan Allah? Siapakah yang akan mewarisi kerajaan Surga? Mereka yang dianiaya oleh sebab kebenaran! Siapakah orang yang akan dianiaya oleh sebab kebenaran? Orang yang miskin di hadapan Allah, (yaitu orang yang bergantung sepenuhnya pada anugerah Allah karena mereka miskin, mereka tidak memiliki apa-apa), orang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hati terhadap orang lain, orang yang membawa damai. Mereka semua adalah orang yang sama. Ucapan-ucapan ini bukan menggambarkan orang yang berbeda-beda. Mereka adalah orang yang sama dengan aspek-aspek yang berbeda. Ini berarti jika Anda memulai dari permulaan, jika Anda rela menjadi miskin di hadapan Allah, jika Anda lapar dan haus akan kebenaran, jika Anda siap untuk membawa damai, jika Anda murah hati – Anda akan dianiaya. Jangan Anda keliru dalam hal ini. Anda pasti akan dianiaya.
Rasul Paulus mengatakan di 2 Timotius 3:12 kata-kata yang amat penting ini, “setiap orang yang mau hidup beribadah akan menderita aniaya.” Anda tidak perlu pergi mencarinya. Penganiayaan akan datang kepada Anda cepat atau lambat. Ini sangat penting karena jika Anda tidak pernah menderita penganiayaan, Anda dapat memastikan satu hal: terdapat sesuatu yang salah dengan kekristenan Anda! Kita diberkati jika kita dianiaya. Kita berbahagia jika kita menderita. Mengapa? Izinkan saya memberitahukan satu rahasia. Iblis tidak akan menyia-nyiakan waktunya atas Anda jika Anda tidak menyusahkannya. Ia tidak akan bersusah-susah menganiaya Anda karena Anda tidak menyusahkan dia sama sekali. Anda tidak membuat dia pusing, mengapa dia perlu menganiaya Anda? Anda bukan satu persoalan bagi Iblis. Iblis hanya akan menganiaya mereka yang menyusahkannya atau siapa saja yang dia tahu akan menyusahkan dia. Untuk apa ia menganiaya orang yang tidak menyusahkannya sama sekali? Kita dapat melihat bahwa salah satu sebab mengapa penganiayaan adalah suatu berkat adalah karena ia menjadi bukti bahwa kehidupan Anda yang saleh menyusahkan Iblis. Bukan karena Anda kebetulan mempunyai suara yang lebih keras dari yang lain, atau bukan karena kamu dapat berbicara lebih baik dari yang lain. Iblis tidak kuatir dengan orang yang berbicara banyak – yang banyak omong kosong. Yang menganggu dia adalah orang yang kehidupannya memancarkan kemuliaan Allah, orang yang kehidupannya menunjukkan keindahan Kristus. Orang-orang seperti ini, Paulus memberitahu kita di 2 Timotius 3:12, yang menjalankan kehidupan yang saleh, kehidupan yang serupa seperti Kristus, pasti akan menderita penganiayaan. Anda tidak mungkin luput dari penganiayaan. Jika kita tidak rela menderita menganiayaan, Yesus memberitahu kita dengan terus-terang, “Janganlah menjadi orang Kristen. Janganlah menjadi seorang Kristen yang disebut dalam Alkitab. Janganlah menjadi seorang murid yang sejati karena Anda akan menderita penganiayaan. Ini adalah satu jaminan.” Karena itu Yesus mengatakan bahwa jika Anda tidak rela memikul salib dan mengikut Dia, jika Anda tidak rela menderita, Anda tidak dapat menjadi murid-Nya. Anda tidak dapat bertahan sebagai murid-Nya.
Penderitaan adalah Pintu Gerbang Masuk Kerajaan Surga
Semua ini berarti bahwa penderitaan adalah pintu gerbang dan jalan menuju Kerajaan Surga. Tidak ada jalan lain untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga melainkan melalui pintu gerbang penderitaan. Marilah kita membaca Kisah 14:22 di mana kita melihat bahwa itulah yang diajarkan oleh para rasul pada murid-murid pada zaman itu. Di sini Paulus baru saja diperlakukan dengan buruk, dilempari batu sehingga disangka sudah mati di kota Ikonium. Kita membaca di ayat 19, “Tetapi datanglah orang-orang Yahudi dari Antiokhia dan Ikonium dan mereka membujuk orang banyak itu memihak mereka. Lalu mereka melempari Paulus dengan batu dan menyeretnya ke luar kota, karena mereka menyangka, bahwa ia telah mati.” Nah, Paulus banyak menderita terutamanya di tangan orang-orang Yahudi. “Akan tetapi ketika murid-murid itu berdiri mengelilingi dia, bangkitlah ia lalu masuk ke dalam kota. Keesokan harinya berangkatlah ia bersama-sama dengan Barnabas ke Derbe. Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid. Lalu kembalilah mereka ke Listra”, – tempat di mana ia dilempari batu – “Ikonium dan Antiokhia. Di tempat itu mereka menguatkan hati murid-murid itu dan menasihati mereka supaya mereka bertekun di dalam iman, dan mengatakan, bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara.” Bagaimana Anda dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Kita harus mengalami banyak sengsara! Nah, itu satu uraian yang jelas sekali. Kesengsaraan digambarkan seperti satu pintu yang melaluinya kita masuk ke dalam Kerajaan Surga. Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara. Kesengsaraan, penganiayaan, penderitaan adalah pintu gerbang dan jalan ke dalam Kerajaan Surga. Itu hampir sama seperti yang dikatakan oleh Yesus sendiri di Lukas 13:24, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu.” Berjuanglah untuk masuk! Bagaimana? Di mana? Melalui pintu yang sesak itu! Masuk ke dalam mana? Ke dalam Kerajaan Allah! Bagaimana? Melalui pintu yang sesak itu! Apakah pintu yang sesak itu? Pintu yang sesak itu adalah penganiayaan, kesengsaraan dan penderitaan.
Yesus tidak memperdayakan siapapun. Yesus tak serupa dengan begitu banyak penginjil yang melapisi obat dengan gula dan menyembunyikan fakta yang sebenarnya, dan berkata, “Jadilah seorang Kristen dan segala sesuatu akan menjadi menyenangkan. Semuanya akan baik-baik saja! Kamu hanya perlu menjadi orang Kristen!” Yesus berkata, “Tidak. Tidak. Aku akan berterus-terang dengan kamu. Kamu ingin masuk ke dalam Kerajaan Allah? Kamu mau memperoleh hidup kekal? Pintu gerbangnya adalah penderitaan. Di dalamnya memang indah, tetapi untuk masuk ke dalam bukanlah hal yang mudah. Jalan itu adalah jalan yang sesak dan Anda harus berjuang untuk masuk” – kata Yunani bagi ‘berjuang’ mempunyai arti ‘menyiksa’. Panggilan kita adalah panggilan untuk menderita. Inilah pintu masuk menuju kerajaan Allah. Tidak seorangpun harus disesatkan dalam hal ini. Memang, di dalam Kerajaan Allah ada hidup, namun jalan menuju ke dalamnya adalah melalui kematian. Bagaimana lagi dapat kita memberitakan kebenaran selain dari cara yang disampaikan oleh Yesus, “Berbahagialah orang yang dianiaya (atau yang menderita) oleh sebab kebenaran, karena merekalah empunya Kerajaan Surga.” Orang macam inilah yang akan menjadi empunya Kerajaan Allah.
Tujuh Alasan Mengapa Penderitaan itu Bernilai
Saya akan menunjukkan kepada Anda dari firman Tuhan mengapa penderitaan itu begitu besar nilainya supaya pada waktu kita mengalami penderitaan, kita boleh bersukacita di dalamnya dan tidak menganggap bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa diri kita. Hanya setelah kita memahami dari firman Tuhan bahwa penderitaan adalah suatu berkat yang luar biasa, kita dapat menyambutnya sebagai suatu berkat dan melihat penderitaan dari segi nilai rohaninya.
Di sini kita tidak akan berbicara tentang penderitaan secara umum. Saya bukan berbicara tentang penderitaan yang datang pada kita karena sakit penyakit karena, bagaimanapun, bukan saja orang Kristen yang sakit, tetapi orang tak-percaya juga. Saya tidak berbicara tentang penderitaan seperti ini. Maksud saya, bukan saja saya yang kurang sehat; orang tak-percaya juga banyak yang kurang sehat. Sakit-penyakit itu tidak secara khusus untuk orang Kristen. Tidak ada apa-apa yang spesial tentang itu. Sekalipun sakit-penyakit bukanlah penderitaan oleh sebab kebenaran, namun saya masih dapat menanggungnya dengan cara yang rohani dan memuliakan Allah. Bagaimana Anda memikul penderitaan itulah yang menentukan perbedaan di antara seorang Kristen dan seorang non-Kristen. Seorang Kristen yang merintih dan mengerang bilamana saja dia mengalami penderitaan sebetulnya tidak layak untuk disebut orang Kristen. Orang seperti ini tidak mengerti nilai rohani dari penderitaan. Di sini, kita berbicara tentang penderitaan demi kebenaran. Penderitaan itu datang karena kehidupan kita yang saleh, yang benar.
Saya ingin membagikan tujuh poin dari Alkitab tentang nilai rohani dari penderitaan supaya kita akan menyambutnya dengan sukacita apabila ia datang, mengingat bahwa ia adalah pintu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
1. Kita Menderita karena Kita Bukan dari Dunia ini
Pertama-tama, kita bersukacita dalam penderitaan dan dalam penganiayaan karena ini menunjukkan bahwa kita bukan dari dunia ini. Itulah tanda seorang Kristen, bukan tanda dunia ini. Inilah yang dikatakan oleh Yesus di Yohanes 15:19. Biarlah saya membacakan kepada Anda ayat ini yang menunjukkan nilai dan arti rohani penderitaan sebagai tanda seorang Kristen. Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya di Yohanes 15:19, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya” Mereka tidak akan menganiaya Anda karena Anda milik mereka. Mereka tidak akan menganiaya Anda. “…tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” Dunia membenci Anda karena Anda bukan dari dunia. Sekiranya Anda dari dunia, dunia tidak akan menganiaya Anda. Dunia akan mengasihi Anda sebagai miliknya. Tetapi karena Anda bukan dari dunia, itulah sebabnya dunia membenci Anda, itulah sebabnya mereka menganiaya Anda. Dengan kata lain, Anda dianiaya sebagai seorang Kristen karena Anda memiliki satu tanda bahwa Anda bukan dari dunia. Bagaimana Anda memiliki tanda itu? Tentu saja, melalui kehidupan Anda yang benar! Dunia membenci kebenaran karena kebenaran menyebabkan ketidakbenaran menjadi menyolok. Kebenaran menelanjangkan dosa dunia. Pernahkan Anda memperhatikan bahwa seorang yang berdosa merasa tidak nyaman di hadapan seorang yang benar? Mengapa? Karena hidupnya yang benar secara tidak langsung telah mengutuknya. Orang dunia merasa tidak nyaman di hadirat Yesus karena kehidupan-Nya mengutuk mereka. Orang yang benar tidak perlu mengucap sepatah katapun, namun kehidupan mereka yang benar membuat orang tidak benar merasa kurang nyaman. Apakah Anda perhatikan bahwa jika Anda berpakaian kotor di tengah-tengah orang-orang yang berpakaian bersih, rapi dan cantik, Anda akan merasa tidak nyaman; Anda merasa tidak pada tempatnya. Atau sebaliknya, jika ada sekelompok orang yang berpakaian sangat kotor dan muncul seseorang yang memakai jubah putih tak bernoda, itu akan membuat orang-orang berpakaian kotor dengan segera menyadari, “Hey, betapa kotornya aku ini!” Mengapa? “Karena aku melihat betapa putihnya pakaian orang itu.” Jika Anda merupakan salah seorang dari mereka, mereka tidak akan memperhatikan perbedaannya. Tetapi sekarang Anda bukan salah seorang dari mereka, karena itu mereka membenci Anda. Makanya mereka menganiaya Anda.
Dunia suka memaksa orang menjadi serupa dengannya, supaya melakukan segala sesuatu menurut jalannya. Apakah Anda perhatikan bahwa seluruh hidup Anda, seluruh hidup saya, kita berada di bawah pengaruh tekanan dari dunia? Mereka mau Anda berpikir seperti mereka. Mereka tidak mengerti mengapa Anda tidak berpikir seperti mereka. Bagi mereka, uang adalah seluruh nilai kehidupan. Uang, uang – semuanya karena uang. Mereka tidak dapat memahami seseorang yang tidak menganggap uang begitu bernilai. Mereka tidak dapat memahami Anda.
Ayah kepada salah seorang rekan sekerja kami terus-terang mengatakan, “Terdapat jurang komunikasi antara kami karena penentuan nilai kami tidak sama.” Ia tidak mengerti mengapa sekelompok orang yang berkelayakan profesional dan mampu menghasilkan banyak uang, benar-benar enggan mengejar uang! Malah, apa yang dilakukan mereka? Mereka mempelajari Alkitab! Bagi seseorang dari dunia, ini tidak masuk akal. Ini tidak masuk akal karena setiap orang menginginkan uang. Uang membawa kekuasaan. Uang membawa status. Uang memberi kepuasan materi: Anda bisa menonton TV warna yang bagus, Anda bisa menyetir mobil yang bagus. Dan di sini ada sekelompok orang yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan semua itu, namun mereka tidak melakukannya. Jadi dunia tidak dapat memahaminya. Dan lebih dari itu, hal ini menganggu mereka karena entah bagaimana ia mengutuk penentuan nilai (sense of value) mereka. Ia menjadikan penentuan nilai mereka tidak berarti. Ia mengatakan kepada dunia, “Apa yang kamu anggap bernilai tidak berarti bagiku. Cinta kamu akan dunia tidak berarti buat aku, dan segala sesuatu yang begitu kamu hargai, yang menjadi tujuan hidupmu, tidak berarti bagiku.” Mereka merasa tertuduh. Mereka merasa terkutuk. “Apa salahnya dengan penentuan nilaiku?” Mereka merasa tidak nyaman. Mereka merasakan bahwa seluruh tujuan hidup mereka tidak berarti di mata Anda. Tentu saja memang benar tidak berarti, namun mereka tidak suka mendengarnya. Ia menganggu mereka. Ia membuat mereka marah.
Tanda orang Kristen adalah mereka tidak hidup untuk dunia ini, melainkan untuk dunia akan datang. Mereka tidak hidup untuk mamon yang tidak jujur, mamon yang kotor, namun untuk kebenaran. Dunia tidak dapat mengerti ini. Dunia merasa terkutuk! Cepat atau lambat, jika Anda terus hidup seperti ini, Anda akan dianiaya. Pertama, mereka akan mengatakan hal-hal yang buruk tentang Anda. Bagaimanapun, mereka mengatakan semua itu tentang Yesus. Nama-nama yang mereka pakai untuk memanggil Yesus sangatlah tidak masuk akal: “Ia gila. Ia dirasuk setan. Ia tidak waras” dan sebagainya. Jika mereka mengatai Tuhan kita seperti itu, apakah kita berharap untuk diperlakukan dengan berbeda?
Jadi, hal yang pertama adalah bahwa penderitaan menunjukkan bahwa kita memiliki tanda sebagai orang Kristen. Hanya karena demikian, dunia akan menganiaya kita. Jika Anda berpikir seperti dunia, jika Anda berkelakuan seperti dunia, jika Anda berbicara seperti dunia, dunia tidak akan menganiaya Anda. Untuk apa? Anda hanyalah salah seorang dari mereka. Tetapi bilamana Anda menjadi berbeda, mereka akan mulai membenci Anda karena perbedaan tersebut menonjolkan dosa mereka; dan Anda akan dianiaya.
2. Penderitaan Memurnikan Iman Kita
Kedua, penderitaan merupakan suatu berkat karena ia memurnikan iman kita. Ia menguji kesejatian iman kita. Di 1 Petrus 1:6-7, persis itulah yang dikatakan oleh rasul Petrus kepada kita. Ia berkata, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu – yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api – sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Kemurniaan iman kita diuji oleh penderitaan. Ah, kita semua akan menjadi orang Kristen jika menjadi orang Kristen berarti sesuatu yang menyenangkan, misalnya, menjadi orang Kristen berarti pergi bersama gereja ke suatu tempat untuk BBQ. Jika begitu, siapa yang tidak mau menjadi orang Kristen? Kita semua suka daging panggang. Jika menjadi orang Kristen berarti kita semua bisa pergi tur di Tanah Suci, seperti yang saya baca di majalah-majalah Kristen, ah, kita semua akan menjadi orang Kristen. Siapa tidak suka pergi tur di Tanah Suci atau Negeri Yunani atau ke Turki, di mana Paulus pernah memberitakan Injil? Sangat menyenangkan menjadi orang Kristen. Sangat menyenangkan menjadi orang Kristen karena semua orang di gereja yang ramah sentiasa menghibur, tersenyum dan menepuk-nepuk di punggung. O, menyenangkan menjadi orang Kristen jika setelah kebaktian kita semua bisa pergi minum teh bersama-sama. Dan orang-orang Kristen yang lain begitu menyenangkan, seperti saudara-saudara perempuan di gereja, mereka membuat kue yang enak untuk kita. Begitu menyenangkan menjadi orang Kristen. Siapa yang akan menolak menjadi orang Kristen? Dalam kondisi seperti ini kita semua akan menjadi orang Kristen. Begitu menyenangkan menjadi orang Kristen karena pada hari minggu kita bisa mengenakan pakaian kita yang cantik. Kita bisa mengenakan dasi kita yang indah apabila datang ke gereja. Hari minggu menjadi hari yang istimewa sehingga Anda merasa begitu senang berada di gereja. Jika Anda tidak pergi ke gereja, Anda merasa ada sesuatu yang kurang. Dan memang benar, menjadi orang Kristen itu sangat menyenangkan. Tapi tunggu! Tunggu sehingga Anda dianiaya karena menjadi orang Kristen. Saya bertanya-tanya berapa banyak yang akan tinggal sebagai orang Kristen.
Itulah bentuk kekristenan yang pernah ada di Negeri Cina – kekristenan yang menyenangkan, gedung gereja yang indah, alat-alat musik elektronik yang bagus. Gedung gereja yang luar biasa indahnya! Di mana kita berada sekarang, plafonnya sudah hampir jatuh. Tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan gedung-gedung gereja di Shanghai. Gereja-gereja kami di Shanghai sungguh indah sekali. Bahkan ada yang dikarpet! Anda dapat menemukan gereja-gereja yang diberi karpet, bangku gereja yang nyaman, dan suasana yang menyenangkan. Dan kemudian datanglah orang-orang Komunis ke Shanghai. Oh ya, saya pernah pergi ke gereja sekali atau dua kali bersama dengan orangtua saya. Gereja tersebut terletak di suatu tempat yang sangat indah. Taman diluar begitu indah dengan rumpun pohon bunga mawar dan bunga-bunga. Jendela-jendela dihiasi dengan kaca-kaca yang cantik. Terdapat sebuah organ yang bagus, dan pemain organ juga tahu bagaimana untuk memainkan organ itu dengan begitu baik. Semua orang yang datang ke gereja juga mengenakan pakaian yang cantik dan mereka begitu sopan, begitu ramah. Kemudian datang Komunis.
Orang Komunis tidak berpakaian rapi. Mereka memakai seragam hijau dengan lengan baju yang tergulung keatas, dan satu topi lusuh yang mempunyai satu tanda bintang merah. Saya biasa mengamati mereka berbaris ke dalam kota Shanghai. Mereka adalah orang-orang yang kotor dengan ikat pinggan senapan, peluru dan granat tergantung di mana-mana. Mereka bahkan tidak tampak seperti tentara-tentara yang elok dan rapi yang Anda lihat di TV. Mereka berbaris ke dalam kota dengan membawa bermacam jenis senapan. Ada yang membawa senapan Jepang yang sudah ketinggalan zaman. Ada yang memakai helm Jepang; ada yang memakai helm Amerika; dan ada yang memakai helm entah dari mana. Dan Anda berkata, “Tentara macam apa ini?” Satu-satunya hal yang mereka ketahui ialah bagaimana untuk berperang. Mereka masuk ke dalam gereja dan semua orang yang berpakaian rapi itu menghilang. Ketika orang Komunis datang, dimanakah orang-orang Kristen? Oh, saat itu mereka tidak mau dilihat berada di dalam gereja karena itu sangat memalukan. Semua orang Kristen hari minggu itu menghilang! Hanya sekelompok kecil yang tinggal. Mereka tidak mengenakan pakaian yang bagus karena mereka tidak mampu membeli pakaian yang mahal. Kelompok yang kecil inilah orang-orang Kristen yang sejati.
Penderitaan memurnikan gereja karena ia memurnikan iman. Ia menyingkirkan yang palsu! Sejak itu, saya mulai melihat orang Kristen yang sejati. Sebelum itu, saya tidak pernah ingin menjadi orang Kristen, bukan karena saya tidak menyukai pakaian mereka yang elok, tetapi karena jika itulah segala yang ada dalam kekristenan, maka saya tidak berminat. Namun saat saya melihat apa yang ditinggalkan setelah api komunisme membakar gereja, tiba-tiba mata saya mulai terbuka. Lalu saya berkata, “Inilah orang-orang Kristen yang sejati. Sekarang saya dapat membedakan yang benar dari yang palsu.” Sebelum itu saya tidak tahu yang mana domba, yang mana kambing. Saya tidak dapat membedakan yang mana emas yang murni dan yang mana semata logam kuning yang palsu. Sekarang saya dapat melihat perbedaannya. Nilainya api penderitaan adalah ia memurnikan iman kita. Tidak haruskah kita menyambutnya? Bukankah ini sesuatu yang indah? Orang-orang yang tinggal adalah mereka yang telah menghitung harganya dan memutuskan untuk tetap setia. Mereka adalah orang-orang seperti Henry Choi, yang sudah banyak kali saya sebutkan, yang punya kesempatan untuk pergi ke Barat, dan sebagai seorang ahli riset kimia, dia bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik. Bapa saya berusaha membujuknya untuk pergi karena bapa saya sangat menghormati orang ini. Bapa saya berkata, “Pergi! Pergi! Pergilah ke Barat! Pergilah mencari nafkah di situ!” Henry berkata, “Tidak. Di sinilah letaknya gereja, maka di sinilah tempat tinggalku.” Saya tidak akan melupakan betapa banyak saya berhutang padanya karena, andainya dia meninggalkan Negeri Cina, saya besar kemungkinan tidak akan berdiri di sini dan memberitakan firman Tuhan hari ini. Saya berhutang begitu banyak padanya karena dia enggan melarikan diri. Ia lebih rela menanggung api penderitaan, meskipun dia mengetahui bahwa api itu akan segera membakarnya juga. Dan dia tidak perlu menunggu lama. Jadi inilah api yang memurnikan iman.
3. Barangsiapa yang Menderita telah Berhenti Berbuat Dosa
Hal ketiga yang kita perhatikan tentang nilai penderitaan dan terdapat di 1 Petrus 4:1 adalah bahwa kita berhenti berbuat dosa. Tidakkah kita rindu untuk berhenti berbuat dosa? Nah, mengapa tidak mengizinkan api penderitaan melakukan itu untuk kita? 1 Petrus 4:1 berbunyi seperti ini, “Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, – karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa – supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia…” Apa artinya ini? Orang seperti Henry Choi mengerti. Mereka yang rela menanggung penderitaan adalah mereka yang telah menolak keinginan daging. Keinginan daging adalah untuk pergi ke Barat – memperoleh penghidupan yang lebih baik, suatu kehidupan yang lebih aman dan luput dari penganiayaan yang pasti akan menimpa dirinya. Henry dengan sepenuhnya dan dengan sadar menyangkal keinginan daging, hal-hal yang begitu diingini oleh daging – keamanan, kekayaan, penghargaan – yang datang kepada orang seperti dia. Orang-orang ini memiliki kemampuan yang besar, kecerdasan yang besar, kemampuan inovatif yang besar, seperti Henry yang dapat menciptakan banyak barang. Dan meskipun dia tidak pernah meninggalkan Negeri Cina, dia dapat berbicara bahasa Inggeris tanpa aksen (logat). Sangat menakjubkan! Saya tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Banyak orang yang tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun dan belajar di luar negeri tidak dapat berbahasa Inggeris tanpa aksen; namun dia yang tidak pernah keluar dari Negeri Cina dapat berbahasa Inggeris dengan sempurna. Jika Anda tidak melihat mukanya, Anda mungkin berpikir Anda sedang mendengarkan seorang Amerika yang berbicara. Namun, dia tidak pernah meninggalkan Cina. Ia adalah salah seorang dari mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luarbiasa. Namun begitu, dunia tidak menarik baginya sama sekali. Dan bahkan perkawinan juga! Sebagaimana saya pernah menceritakan kepada Anda, ia enggan berkawin supaya ia dapat melayani Tuhan dengan perhatian yang tidak terbagi-bagi karena ia tahu ia akan menderita. Ia pernah mengatakan pada saya, “Jika aku menderita, aku lebih rela menderita seorang diri, tanpa perlu memikirkan penderitaan yang akan menimpa anak-istri karena penderitaanku.” Ia begitu menyiapkan hatinya untuk dikorbankan sehingga ia menolak untuk berkawin, meskipun ia seorang yang sangat tampan.
Jadi kita melihat dari semua ini bahwa barangsiapa telah menderita telah berhenti berbuat dosa, dalam pengertian bahwa dia telah berpaling dari dosa, dari dunia, dan dari daging. Seseorang yang dengan sengaja telah memilih untuk menerima penderitaan dengan senang hati demi Kristus sesungguhnya telah selesai dengan dosa. Ini tidak berarti bahwa ia tidak pernah berbuat dosa, tetapi ia telah memutuskan hubungannya dengan dosa. Terdapat satu perbedaan yang besar di sini. Jadi kita mendapati orang semacam inilah yang memahami nilai penderitaan karena mereka melihat bahwa ia tidak hanya menguji keaslian komitmen mereka, tetapi juga memungkinkan mereka oleh anugerah Allah memecahkan kuasa dosa dalam kehidupan mereka. Mereka mengizinkan penderitaan untuk memecahkan dosa dalam kehidupan mereka. Penderitaan menjadi satu alat yang menyebabkan pertumbuhan rohani.
4. Penderitaan Menyebabkan Kita Tunduk kepada Allah
Keempat, yang berhubungrapat dengan ini, terdapat di bagian kedua ayat tadi (1 Petrus 4:2) yang tidak sempat kita baca: “supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut kehendak manusia, tetapi menurut kehendak Allah.” Menurut kehendak Allah! Penderitaan tidak hanya menyebabkan kita berhenti berbuat dosa, tetapi juga untuk hidup menurut kehendak Allah. Karena tidak ada orang yang rela menerima penderitaan jika dia tidak siap untuk meletakkan seluruh kehidupannya untuk tunduk di bawah kehendak Allah. Tentu saja tidak! Kecuali Anda siap untuk hidup secara total di bawah kehendak Allah – bukan kehendakmu tetapi kehendak Allah – Anda pasti tidak akan menerima penderitaan. Anda tidak akan menerimanya. Anda akan melawan balik. Anda akan menolak. Anda akan mengeluh dan bersungut-sungut. Namun lihatlah apa yang dilakukan Yesus. Ia menyerahkan hidup-Nya secara total di bawah kehendak Allah, menerima penderitaan dengan sukacita, bukan saja dengan pasrah namun dengan sukacita. Penderitaan memberikan kesempatan kepada kita untuk tunduk dengan rela hati kepada kehendak Allah.
Penderitaan mempunyai nilai rohani yang besar karena persis melalui penderitaan semacam inilah yang kita baca di Ibrani 5:8 bahwa Anak sendiri belajar menjadi taat, belajar menjadi tunduk kepada kehendak Allah. Ayat ini tidak pernah berhenti menyentuh hati saya: “sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”, – bahwa Yesus sebagai Anak Allah – sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya. Jika Anak Allah harus belajar taat dari apa yang diderita-Nya, lebih-lebih lagi kita harus belajar taat dari apa yang kita deritai. Bagaimana Anda belajar menjadi taat? Melalui penderitaan. Penderitaan adalah sekolah di mana kita belajar menjadi taat. Di mana lagi kita harus belajar menjadi taat jika kita tidak perlu menderita? Penderitaanlah yang mengajar kita betapa pentingnya untuk taat. Di tengah-tengah penderitaanlah kita belajar menjadi taat.
5. Kedewasaan Rohani Datang Melalui Penderitaan
Ini membawa kita ke poin yang kelima dan itu terdapat di ayat yang berikutnya di Ibrani 5:9, “dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya”. Ia mencapai kesempurnaan-Nya. Bagaimana? Melalui penderitaan. Seperti dikatakan di tempat lain dan juga di Ibrani 2:10, tentang Anak, pemimpin keselamatan kita: “Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan.” Penderitaanlah yang menjadikan kita dewasa. Kedewasaan rohani datang hanya dengan penderitaan. Saya berharap Anda mencatatkan poin ini dengan jelas. Penderitaan adalah satu satunya sarana yang mendewasakan kita secara rohani.
Yesus mengungkapkan hal ini dengan cara yang lain di Matius 13, di Perumpamaan Seorang Penabur. Di Matius 13:5-6, Yesus menjelaskan bahwa benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu menjadi layu ketika matahari terbit, karena ia tidak berakar. Ia tidak berhasil masuk ke dalam Kerajaan Allah. Terdapat banyak yang sudah menerima benih namun tidak mencapai hidup yang kekal, karena mereka menjadi layu sebelum penuaian. Mereka gagal memperoleh hidup kekal meskipun telah menerima benih. Apakah yang dilambangkan oleh matahari yang menyebabkan mereka menjadi layu? Di ayat 20-21, Yesus menjelaskan bahwa matahari adalah penindasan dan penganiayaan yang menimpa orang yang menerima firman Allah. Jadi, perhatikan ini: matahari yang membolehkan gandum untuk bertumbuh – gandum yang sehat dan berakar untuk bertumbuh, jugalah yang membinasakan yang tidak berakar. Matahari, yaitu penganiayaan, adalah hidup bagi satu, dan maut bagi yang lain. Mataharilah yang membawa kematangan dalam tumbuhan. Tiap petani tahu bahwa, tanpa matahari, tidak ada tanaman yang dapat mencapai kematangan. Namun matahari yang sama, yang membawa kematangan dan pertumbuhan kepada benih-benih yang berakar, membawa maut dan kebinasaan kepada yang tidak berakarkan kebenaran. Di sini kita menemukan bahwa penganiayaan, seperti matahari, yang membawa pertumbuhan; yakni kematangan untuk penuaian. Demikian pula kita harus mencapai kedewasaan melalui keterikan matahari. Jika kita berakar, bukan saja kita tidak dirusakkan, tetapi kita akan mencapai kedewasaan penuh.
Saya tidak tahu apakah Anda pernah bersekutu dengan hamba-hamba Tuhan yang telah menderita. Pernahkah Anda berbicara dengan hamba Tuhan yang sudah menderita? Anda akan memperhatikan suatu kematangan dan kedalaman yang tidak dapat ditemukan dalam hamba-hamba Tuhan yang keluar dari seminaris, yang tidak pernah menderita apa-apa demi Kristus. Terdapat suatu kualitas yang sangat berbeda. Ketika saya bercakap-cakap dengan Wang Ming Tao di Peking, saya dapat merasakan kedalaman dan kekuatan orang ini karena dia sangat banyak menderita demi Kristus. Dia telah menderita sejak pendudukan Jepang di Negeri Cina. Ia menderita lagi di bawah pendudukan Komunis. Ia menderita di tangan setiap orang. Namun ketika Anda berbicara dengan orang ini – ketika Anda berbicara dengan Wang Ming Tao – Anda merasakan bahwa terdapat suatu kedalaman, suatu kematangan yang tidak dapat ditemukan dalam orang lain. Bagaimanapun, saya telah banyak berbicara dengan profesor-profesor teologia. Saya telah berbicara dengan banyak ahli-ahli teologia di sepanjang hidup saya. Terdapat suatu perbedaan dalam kualitas yang tidak dapat dibandingkan. Sama seperti berbicara dengan dua orang yang berasal dari dunia yang berbeda. Seorang memiliki pengetahuan yang bertumpuk di kepala; seorang lagi memiliki kekayaan rohani, kedalaman dan kematangan. Adalah suatu hak istimewa untuk mendapat kesempatan untuk berbicara dengan orang-orang seperti ini – Wang Ming Tao, Yang Zi Jie, Li Han Wen. Merekalah hamba-hamba Allah. Merekalah orang-orang yang telah didewasakan oleh penderitaan. Terdapat suatu perbedaan di dalam kualitas orang-orang ini. Ketika mereka berkhotbah, terdapat suatu perbedaan di dalam khotbah mereka juga. Terdapat suatu perbedaan di dalam kedewasaan, di dalam kuasa dari khotbah mereka. Seperti itulah nilai penderitaan, nilai rohani penderitaan. Jadi, poin kelima yang ingin saya bagikan dengan Anda adalah efek mendewasakan dari penderitaan, yang begitu penting.
6. Kita Menggenapkan apa yang Kurang pada Penderitaan Kristus
Mari kita melanjutkan ke poin yang keenam tentang nilai penderitaan. Ini bersangkutan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus di Kolose 1:24. Pokok ini sangat penting, namun banyak orang Kristen, khususnya orang-orang Kristen yang tidak pernah menderita, tidak mungkin dapat mengerti ayat ini. Paulus sebagai seorang yang banyak menderita demi Injil memahami hal ini dengan baik. Kolose 1:24 adalah satu batu sandungan yang besar bagi penafsir-penafsir akademis. Saya bacakan, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu……”. Perhatikan bahwa Paulus bersukacita. Ia sangat bergembira di dalam penderitaan; ia sama sekali tidak mengerang dan mengeluh tentang menjadi martir, dan berkata, “Lihat di sini, lihat apa yang harus aku deritai!” Ia berkata, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat”. Paulus mengatakan, “aku menggenapkan melalui penderitaanku…” Jadi, mengapa dia begitu bersukacita? Mengapa penderitaan merupakan suatu berkat? Itu karena melalui penderitaan dia sedang menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus. Apakah mungkin terdapat kekurangan pada penderitaan Kristus? Oh ya, memang ya! Memang itulah yang dikatakan oleh Paulus.
Penderitaan Kristus adalah guna menebus dosa kita, namun terdapat satu aspek penderitaan yang juga penting bagi keselamatan gereja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh Kristus. Saya mengatakan ini dengan penuh hormat karena ini adalah firman Tuhan. Ini bukanlah sesuatu yang dikatakan oleh saya. Ini bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh Paulus pula. Ini adalah suatu hal yang penting bagi keselamatan gereja, yaitu sesuatu yang harus ditanggung kita, yang harus dipikul kita, yang dipikul Anda dan saya. Jika Paulus tidak menderita, bagaimana mungkin Injil dapat sampai ke tempat-tempat yang baru kita baca, misalnya di Kisah Para Rasul 14? Ke Derbe, Listra, Ikonium dan di seluruh Makedonia dan di seluruh Yunani dan di seluruh Asia dan di seluruh tempat-tempat di mana Paulus memberitakan Injil seperti Siprus dan Kreta dan mungkin juga di Spanyol, atau di mana saja Injil belum pernah diberitakan? Siapa yang akan membawa Injil kepada mereka? Siapa? Siapa yang akan membawa Injil kepada mereka melainkan orang-orang yang mau menderita seperti Paulus. “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu.” Untuk memberitakan Injil dimanapun harga yang harus dibayar sangatlah tinggi. Siapa yang menderita untuk membawa Injil ke tempat-tempat itu? Siapa lagi kalau bukan hamba-hamba Tuhan yang setia. Tanpa penderitaan mereka, apakah tempat-tempat tersebut akan menerima Injil? Tentu saja tidak. Kalau begitu, bukankah penderitaan mereka amat dibutuhkan guna pemberitaan Injil? Tentu saja! Bukankah penderitaan mereka amat penting demi keselamatan orang-orang ini, dalam pengertian bahwa, tanpa penderitaan mereka, Injil tidak akan pernah sampai pada orang-orang ini? Tentu saja. Nah, kalau begitu, bukankah bagian penderitaan ini penting bagi keselamatan gereja juga? Tentu saja, karena tanpa penderitaan itu, orang lain tidak dapat menerima Injil.
Sekarang dapatkah Anda melihat bahwa terdapat bagian penderitaan ini yang amat penting bagi keselamatan gereja? Bagian ini adalah bagian yang harus ditanggung kita. Bagian ini adalah bagian yang ditinggalkan oleh Kristus bagi kita, supaya kita mengikuti jejak-Nya. “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku.” Nah, jika tidak penting bagi kita memikul salib kita, hanya penting bagi Dia memikul salib-Nya, maka untuk apa Dia menyuruh kita memikul salib kita? Yesus memanggil kita untuk memikul salib karena Ia memanggil kita untuk mengambil bagian dalam penderitaan-Nya. Singkatnya, kita dipanggil untuk bersekutu dalam penderitaan-Nya. Nah, tidak ada apa-apa yang sulit untuk dimengerti, bukan?
Namun pada masa kini, kita ingin memiliki suatu kekristenan di mana Kristus yang menanggung segalanya dan kita tidak perlu berbuat apa-apa. Kristuslah yang menanggung semua penderitaan itu: Dialah yang mati, Dialah yang menderita dan kita tinggal duduk santai-santai dan menikmatinya. Kekristenan macam apa ini? Ini bukan kekristenan yang diajarkan oleh Yesus. Kekristenan yang diajarkan oleh Yesus adalah bahwa pintu masuk Kerajaan adalah penderitaan. Bahwa melalui penderitaan kita, orang lain menerima Injil. Orang lain melihat kesaksian hidup Anda. Kehidupan Anda bersinar sebagai terang kepada dunia. Apakah terang itu penting? Tentu saja penting karena tanpa terang, Anda akan tersandung ke dalam lobang. Leher Anda patah. Anda mati di situ. Kitalah terang dunia yang membawa keselamatan Allah kepada dunia yang sedang binasa. Namun untuk menjadi terang kita harus dibakar hangus.
Beberapa hari yang lalu kami mengalami putus listrik. Selama lima jam kami berada di dalam kegelapan pada waktu malam. Jadi kami terpaksa menyalakan lilin dan lilin itu memberikan cahaya yang begitu indah! Saya berkata kepada Helen, “Lilin-lilin ini begitu bagus! Lidah apinya begitu panjang, begitu mantap. Cahayanya bagus sekali.” Lidah apinya sepanjang satu setengah inci, memancarkan terang yang indah. Namun lilin itu membayar harga yang mahal, karena untuk memberikan terang, lilin itu dengan mantap dibakar sedikit demi sedikit sehingga habis. Ia dibakar sampai hangus. Ia binasa. Lilin itu memberikan dirinya dibakar sampai hangus supaya kita dapat menikmati terang, supaya kita tidak jatuh dari tangga dan patah leher, supaya kita dapat melihat ke mana kita pergi dan apa yang kita lakukan. Kita sudah menerima terang itu. Kita harus menjadi terang. Yesus berkata, “Kamu adalah terang dunia. Maka bercahayalah!” Namun bercahaya itu mahal harganya; Anda akan dibakar sampai hangus. Anda dibakar hangus, namun orang lain menerima keselamatan. Terdapat suatu penderitaan yang harus dipikul oleh kita. Terdapat suatu pengorbanan, suatu pembakaran yang harus kita alami supaya orang lain dapat menerima hidup Kristus. Kita menjadi salur bagi hidup Kristus, melalui kematian kita, melalui penderitaan kita. Saya harap Anda memahami Kolose 1:24 dengan baik mulai sekarang. “Aku bersukacita dalam penderitaanku,” kata Paulus. Aku sangat bahagia. Mengapa? “Kerana melalui penderitaanku aku menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus.” Yesus mati untuk membawa keselamatan – namun keselamatan itu akan berhenti di Kalvari jika murid-murid-Nya tidak keluar dan membawa keselamatan tersebut ke seluruh dunia. Yesus telah mati dan tidak ada orang yang mengetahuinya. Semuanya berakhir di situ saja. Adalah menjadi tanggung jawab murid-murid-Nya untuk pergi dan memberitakan kabar baik itu ke seluruh dunia. Yesus memberi perintah kepada murid-murid-Nya, “Pergi dan jadikan semua bangsa murid-Ku.” Namun untuk melakukan itu harganya sangat mahal. Mereka harus mengalami penderitaan di sepanjang jalan. Bagian penderitaan ini, penderitaan demi keselamatan dunia ditinggalkan oleh Yesus untuk dipikul oleh murid-murid-Nya, untuk dipikul oleh gereja, untuk dipikul oleh Anda dan oleh saya.
Ingat bahwa hal ini bukan saja berlaku untuk Paulus. Janganlah berkata, “Nah, hanya Paulus yang menderita di sini.” Apa yang ingin ditekankan oleh Paulus adalah bahwa kita harus mengikut teladannya, bahwa kita harus mempunyai pikiran yang sama dengan dia. Di Filipi 1:29-30, persis itulah yang dikatakan oleh Paulus, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus”, – sayangnya, inilah yang ingin dilakukan oleh gereja masa kini, yaitu, “hanya percaya” – melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.” “Kamu dan aku,” Paulus mengatakan, “kita terlibat dalam pergumulan yang sama, karena kamu dan aku dipanggil bukan saja untuk percaya melainkan untuk menderita. Kita terlibat dalam peperangan yang sama. Dan di dalam peperangan untuk keselamatan jiwa-jiwa ini, sama seperti peperangan yang lain, akan terdapat korban. Ada yang akan dilukai. Ada yang akan terbunuh. Tidak ada peperangan di mana setiap orang keluar tanpa segorespun. Setiap orang akan dilukai.
Mari kita mengamati nilai penderitaan ini. Penderitaan mempunyai nilai keselamatan. Kebahagiaan penderitaan berpangkal dari hal ini: bahwa kita telah dipanggil untuk membawa hidup Kristus dan keselamatan Kristus kepada orang lain. Dalam proses melaksanakan itu, kita akan menderita sambil menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus. Kita tidak dapat mati untuk menebus dosa orang lain. Hanya darah Kristus yang dapat menghapus dosa dunia. Namun tidak siapapun yang akan menerima berkat dari darah Kristus dan keselamatan besar itu selama kita tidak membawanya kepada dunia. Dalam melakukan itu, kita memikul salib kita, yaitu penderitaan kita. Tentang hal penderitaan ini, terdapat begitu banyak bagian yang lain dari ajaran Yesus dalam Alkitab yang mengatakan hal yang sama. 1 Petrus 3:14-15 mengatakan hal yang sama, “Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran…” – catatkan bahwa ini sama persis dengan kata-kata yang diucapkan oleh Yesus dalam ucapan bahagia, “oleh sebab kebenaran” – “kamu akan berbahagia.” Di sini Petrus menggemakan kata-kata Yesus. Kemudian ia melanjutkan, “sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan.” Di sini sekali lagi kita harus mempunyai kesiapan untuk bersukacita di dalam penderitaan oleh sebab kebenaran karena dengan cara ini kita membawa Injil kepada orang lain.
7. Upahmu Besar
Marilah kita melihat poin yang terakhir, poin yang ketujuh. Mengapa kita harus bersukacita di dalam penderitaan oleh sebab kebenaran? Karena alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas, dan lebih dari itu, Yesus berkata di Matius 5:12: “karena upahmu besar di surga”. Upahmu besar. Mengapa upahmu besar? Karena dalam penderitaan, Anda menjadi berkenan kepada Allah. Dan apa lagi? Karena Anda akan ditemukan di antara nabi-nabi, “sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” Ah, begitu indahnya! Dengan demikian Anda mendapati diri Anda tergolong di antara nabi-nabi. Anda membuktikan diri Anda sebagai nabi Allah yang sejati. Anda tahu bahwa setiap murid dipanggil untuk menjadi nabi, untuk membawa firman Allah kepada orang lain, untuk membawa keselamatan kepada yang lain. Itulah pekerjaan seorang nabi. Dan apabila Anda menanggung penderitaan karena membawa keselamatan kepada orang lain, Anda membuktikan diri bukan saja sebagai seorang murid, tetapi juga sebagai seorang nabi Allah, seorang nabi Allah yang setia, yang membawa Firman Allah, Firman kehidupan itu, kepada orang lain, bukan saja melalui kata-kata namun melalui kehidupan Anda. Anda ditemukan di tengah-tengah kelompok yang paling bagus. Anda berkenan kepada Allah. Anda membuktikan diri sebagai seorang murid yang sejati dan seorang hamba Tuhan yang setia. Bukankah ini alasan untuk bersukacita? Anda bersukacita karena orang-orang seperti inilah yang akan menjadi empunya Kerajaan Surga.
Di sini kita telah melihat alasan-alasan mengapa terdapat nilai yang begitu besar dalam penderitaan. Dengan cara yang sama kita harus juga, sebagai kesimpulan, mengingat hal ini. Kita harus menderita, jika kita harus menderita sama sekali, oleh sebab kebenaran. Jangan ada orang Kristen yang menderita karena berbuat salah! Jangan ada orang Kristen yang menderita karena melakukan hal yang memalukan, karena menjelekkan nama orang lain, karena memfitnah, karena mengatakan apa yang tidak benar, karena berbuat salah. Kalimat (klausul) yang terdapat di sini adalah, “oleh karena kebenaran”, dan bukan karena alasan yang lain. Dan jika Anda menderita oleh karena kebenaran, bersukacitalah karena Anda tergolong di antara para nabi.
Namun itu bukan semuanya. Saya telah mendapati, dan saya berpikir bahwa semua yang telah menderita oleh karena kebenaran dalam ukuran apapun, apakah kecil atau besar, akan juga mendapati bahwa tidak pernah hadirat Allah lebih dekat kepada Anda dibandingkan dengan saat Anda menderita. Indah sekali! Saat Anda menderita oleh sebab kebenaran – dan ini merupakan satu lagi alasan untuk berbahagia – Anda akan menemukan bahwa hadirat Allah begitu dekat kepada Anda, seperti sesuatu yang tidak pernah Anda alami sebelumnya.
Kita menemukan hal yang sama di dalam firman Tuhan. Ketika Paulus dan Silas dilempar ke dalam penjara, mereka bersukacita karena dipenjarakan demi nama Yesus. Mereka menyanyikan puji-pujian kepada Tuhan dan sebagai akibatnya, Tuhan menyatakan hadirat-Nya dengan satu gempa bumi. Begitu besarnya gempa bumi itu sehingga penjara itu hancur. Hadirat Tuhan dalam penderitaan! Di 2 Timotius 4:17, Paulus sedang diadili dan ia mengatakan ini: “semuanya meninggalkan aku, tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku.” Hadirat Allah begitu dekat kepadanya di dalam penjara dan ketika dia diadili. Saya berdoa agar semua yang mendengarkan khotbah ini mengerti dengan sepenuhnya nilai rohani dari penderitaan. Semoga kita tidak lagi kedapatan mengerang dan mengeluh. Ketahuilah bahwa penderitaan adalah berkat rohani yang paling tinggi nilainya dan harus disambut dengan sukacita sebagai satu penghargaan.
Gereja Barat, Gereja yang Tidak Menderita
Ketika saya berbicara tentang penderitaan di sini di Barat, saya kadang-kadang bertanya apakah saya hanya menyia-nyiakan waktu karena saya tidak mengenal banyak orang Kristen di sini yang tahu apa-apa tentang penderitaan. Bagaimanapun, kesempatan apa yang ada untuk Anda menderita? Jika saya mengkhotbahkan pesan ini di Negeri Cina, saya akan merasakan bahwa setiap orang yang mendengar dapat mengerti dengan jelas apa yang saya maksudkan. Mereka akan dihiburkan dan dikuatkan. Namun ketika saya memberitakan pesan yang sama di Barat, saya merasa seolah-oleh sedang memukul-mukul udara dan omong kosong, karena tidak ada orang yang mengerti apa itu penganiayaan. Mungkin kelak hari itu akan tiba. Jalankanlah kehidupan yang saleh dalam Kristus Yesus. Jangan pergi mencari masalah, tetapi jalankanlah kehidupan yang saleh dalam Kristus Yesus dan penganiayaan akan segera datang.
Satu hal sangat menganggu saya tentang gereja Barat. Gereja di Barat di antara tak diindahkan atau sangat dihormati. Kedua hal ini sangat menganggu saya. Mengapa? Karena Alkitab mengatakan bahwa, “setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya”. Lalu mengapa gereja tidak dianiaya di Barat? Hal ini menganggu saya. Terdapat sesuatu yang tidak betul dengan gereja, karena dunia tidak mau menganiaya gereja. Ternyata dunia tidak terkesan dengan gereja karena gereja tidak memberitakan apa-apa yang berarti kepada dunia. Ia tidak melakukan apa-apa. Tidak ada terang yang bercahaya. Kalau tidak, percayalah, dunia ini akan segera menganiaya kita. Namun gereja masa kini terutamanya di Barat ternyata tidak mengesankan dunia.
Saya juga terganggu karena gereja bukan saja tidak dianiaya, malah diberi pelbagai macam hak istimewa dan penghormatan. Di Barat, jabatan pendeta adalah jabatan yang sangat tinggi di dunia. Kami diberi hak untuk ikut menandatangani formulir. Jika ada yang ingin menjadi warganegara, kami bisa menandatangani. Kami diberi hak untuk menandatangani banyak formulir. Kami tergolong sebagai orang-orang kepercayaan pemerintah, seperti pengacara dan dokter dan orang-orang semacam itu. Hanya orang-orang tertentu yang diberi wewenang untuk menandatangani formulir-formulir khusus ini dan kami adalah salah satunya. Hal ini menganggu saya. Saya tidak menyukai perlakuan yang istimewa ini. Saya tidak merasa begitu canggung di Timur di mana kami dihina dan ditolak. Di bagian Timur, mereka berpikir, “Ah, pendeta! Mereka hanya satu kelas diatas pengemis! Mereka ialah sampah masyarakat! Mereka ialah orang-orang yang putus sekolah dan karena mereka tidak bisa mendapat pekerjaan di tempat lain, jadi sekarang mereka menjadi pendeta.” Bagus! Bagus sekali! Sekarang kita mulai berbicara. Kami dihina dan ditolak, namun kami bersukacita. Tetapi gereja hari ini, betapa jauhnya kita sudah menyimpang. Saya berdoa pada Tuhan agar gereja akan bersinar kembali sebagai terang dunia, agar gereja akan menjalankan kehidupan yang begitu saleh, sehingga dunia merasa tidak nyaman kembali. Sehingga dunia berkata, “Hei! Lebih baik kita mencabut hak istimewa dari orang-orang ini. Mereka memberikan kami terlalu banyak masalah.”
Gereja masa kini tidak prihatin memberitakan kebenaran. Gereja tidak prihatin memberitakan kekudusan. Ia hanya ingin memberitakan dogma. Dan dunia tidak peduli dengan dogma. Mereka akan berkata, “Kamu ingin percaya dogma kamu, silakan saja! Kamu mau percaya Yesus melakukan ini dan melakukan itu, silakan saja! Selama kamu tidak menganggu kehidupan kami, kamu bisa percaya apa saja yang kamu suka. Kami tidak peduli apa yang kamu percayai, selama kamu jangan menganggu kami.” Selama Yohanes Pembaptis mengatakan apa saja yang dia suka, mereka tidak kuatir. Namun saat Yohanes Pembaptis berkata, “Kamu orang-orang berdosa!!” mereka menjawab, “Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Coba katakan sekali lagi!” Sekarang dia mengalami masalah. Saya berharap agar Allah membaharui gereja-Nya di hari-hari terakhir ini. Dan sementara itu, marilah kita memikul salib kita dan mengikut-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar