Natal dirayakan secara besar-besaran di Amerika. Orang-orang ateis pun merayakannya dengan bersemangat. Meskipun banyak orang Amerika memandang Natal sebagai saat untuk memusatkan perhatian pada kelahiran Yesus Kristus, hampir setiap orang menganggapnya sebagai musim untuk berbelanja. Tidak mengherankan kalau Natal juga merupakan peristiwa besar di Asia. Saya pernah di Asia selama tujuh perayaan Natal, yaitu di Singapura, Thailand, dan Sri Lanka, sekali di Korea, dan selebihnya di Amerika. Setiap pengalaman perayaan Natal mempunyai keistimewaan sendiri. Setiap pengalaman itu berbeda dari pengalaman perayaan Natal di Amerika, dan masing-masing saling berbeda pula. Demikian tulis Leon Howell sebagaimana dimuat Sinar Harapan.
Selain kegembiraan ketika melihat salju tiruan di etalase-etalase berbagai toserba di Bangkok, perayaan Natal yang saya alami di Asia sangat berbeda dengan di Amerika. Pertama, cuaca tropis di Asia selalu panas, sangat panas. Berenang di udara terbuka saat Natal menyenangkan, tetapi agak kurang tepat. Belum lagi yang terjadi di Singapura, saat saya membagi-bagikan hadiah Natal di luar sebuah Taman Kanak-Kanak, saya kepanasan mengenakan pakaian Santa Claus.
Di Amerika, pada hari Natal mestinya dingin, sangat dingin, dan salju turun di mana-mana, seperti di Korea. Sebenarnya, saya jarang melihat salju pada musim Natal di Amerika. Namun, gagasan mengenai salju melebihi kenyataan, dan karena itu lagu yang dinyanyikan Bing Crosby I´m Dreaming of a White Christmas merupakan salah satu rekaman lagu terlaris di Amerika.
Kedua, meskipun Perayaan Natal itu merupakan peristiwa keagamaan di Amerika, namun tidak demikian halnya di Asia. Di negara-negara Asia, hanya sekitar seperdua-belas penduduk di sana yang beragama Nasrani. Karena Natal demikian penting bagi pemeluk agama Nasrani untuk menguatkan kepercayaan mereka, merayakannya sebagai golongan minoritas memberikan arti khusus pada peristiwa itu.
Keluarga Cina tetangga saya di Singapura menghadiri misa tengah malam menjelang Natal, kemudian menyanyikan lagu-lagu Natal dalam Bahasa Mandarin kira-kira pada pukul tiga pagi setiap tahun.
Ketiga, perayaan Natal di Amerika tidak mencerminkan kebiasaan zaman kolonial seperti di banyak daerah Asia. Menurut tradisi Inggris, banyak warga masyarakat Kristen Singapura dan Sri Lanka saling memberikan hadiah Natal, pada tanggal 26 Desember, yang dikenal sebagai "Boxing Day". Dengan demikian memberikan banyak waktu bagi gereja dan keluarga untuk merayakan Natal.
Apa persamaannya? Jelas, di sebagian besar negara Asia Natal telah menjadi bagian dari kegiatan pada akhir tahun, demikian pula di Amerika. Di Jepang, banyak orang memasang pohon Natal, toko-toko serba-ada memainkan lagu-lagu Natal, dan banyak orang saling memberikan hadiah Natal. "Masyarakat Jepang cenderung mengubah berbagai hal dari luar negeri menjadi sesuatu yang khas Jepang," demikian tulis seorang wartawan Jepang.
Thailand juga merayakan Natal secara terbuka, meskipun 95 persen penduduknya beragama Budha. "Kami merayakan Natal," kata seorang Thailand, "karena rakyat Thailand ingin bergembira dan masyarakat kami terbuka, dan bertoleransi terhadap agama lain."
Cina mengakui Natal "dengan semangat yang semakin besar," kata seorang pengamat. Masyarakat kristiani telah bertambah jutaan dalam 20 tahun ini. Cina juga beruntung menjadi negara produsen terbesar di dunia dengan paling banyak memproduksi mainan anak-anak untuk Natal. Ekspor produk Cina untuk perayaan Natal dalam tahun 2003 bernilai 1,5 miliar dolar.
Satu sebab mengapa Natal demikian besar dampaknya di seluruh dunia adalah karena lambangnya tetap sama, meskipun masing-masing budaya di dunia mempunyai cara-cara sendiri yang unik untuk menyatakan perasaan mereka pada hari Natal.
Sumber: www.glorianet.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar